26.10.08
Oleh: RUDI HARTONO*
Bulan September 2008, merupakan “lonceng kematian” bagi sejumlah lembaga keuangan yang berada di wall-street, New York. Bagaimana tidak, badai krisis yang menerjang telah menggulung sejumlah lembaga keuangan tertua di dunia tersebut. Lehman Brothers, yang telah berinvestasi 158 sebagai bank financial global, akhirnya “gulung tikar”. Merryll Linch akhirnya diambil alih oleh Bank of Amerika. Sedangkan AIG, yang sebelumnya sudah begitu menderita, akhirnya diselamatkan oleh pemerintah. Semua pihak, terutama dari spektrum kiri, sudah jauh hari memprediksikan hal ini, sebagai buah dari keserakahan kapitalisme dan spekulasi yang berlansung dibawah koridor “deregulasi keuangan”. Akibatnya, dampak krisis ini akan memiliki ritme yang panjang dan berpotensi “menular” kepada Negara-negara lain, setidaknya hingga beberapa tahun kedepan. Krisis financial yang sedang menghisap darah ekonomi amerika, berpotensi besar akan menjalar ke Negara-negara lain, terutama Negara selatan yang selama ini menjadi pasien dari system neoliberal yang dipromosikan AS.
Di Indonesia, pengaruh krisis financial di AS mulai terasa cukup kuat, baik di sector financial maupun sector real. Pengaruh lansung krisis financial AS telah menciptakan kepanikan luar biasa pada otoritas financial. Kejatuhan harga saham, yang seolah terjun bebas, telah mendorong otoritas saham untuk menutup sementara Bursa Efek Indonesia (BEI), selama beberapa hari. Bukan otoritas financial saja yang panik, pemerintahan SBY-JK pun sudah memperlihatkan kepanikan luar biasa. Presiden nampak menggelar dan memimpin rapat cabinet paripurna secara mendadak dan berkali-kali. Walaupun demikian, beberapa cara yang ditempuh pemerintah SBY belum memperhatikan kepentingan nasional, tapi mendahulukan kepentingan asing dan negara-negara imperialis.
Skema Antisipasi diatas jalan Neoliberal
Meskipun terkesan serius dan bekerja maksimum, tapi respon politik yang diambil pemerintah untuk mengantisipasi dampak krisis financial di AS, kelihatan tidak mampu mengeluarkan ekonomi nasional dari sirkuit berbahaya; kerusakan system financial global. Dalam beberapa kali rapat kabinet mendadak, yang menghasilkan sejumlah langkah ekonomi SBY, kelihatan bahwa pemerintah tidak bergeser dari paradigma ekonomi neoliberal. Beberapa keputusan yang diambil pemerintah tidak mencerminkan kepentingan untuk penyelamatan terhadap ekonomi nasional, diantaranya; Pertama, kebijakan buy-back saham dengan menggunakan APBN lewat BUMN, yang diperkirakan mencapai Rp. 400 trilyun. Kedua, menerbitkan system pengamanan untuk system keuangan, dengan menerbitkan sejumlah Perppu JPSK yang akan mempertahankan likuiditas perbankan.
Ancaman terbesar terhadap kerentanan fundamental perekonomian Indonesia, terutama sector keuangan, adalah aksi-aksi spekulasi, pelarian capital keluar (capital flight) negeri, dan pengambilan asset bank dalam negeri oleh Bank asing. Sejauh ini, sistem perbankan yang sudah mengglobal telah menunjukkan kerapuhan, yang dengan seketika menciptakan kerusakan besar.
Kebijakan Buyback hanya akan menggerus anggaran APBN, dan dialirkan untuk membiayai investor asing dan perusahaan financial internasional. Tidak ada jaminan yang pasti, untuk mencegah investor merelokasi dan merekomposisi asetnya ketempat aman, selain kebijakan pengontrolan ketat dari pemerintah. Satu-satunya kepercayaan para investor adalah dibimbing untuk senantiasa mengambil resiko guna mendapatkan sejumlah keuntungan dalam waktu singkat, dan sesegera mungkin memindahkan asetnya ke tempat aman jika terjadi sedikit gangguan.
Sedangkan kebijakan Perppu JPSK, sebagai perangkat hukum untuk mempertahankan likuiditas perbankan, hanya “pengaman sementara” dalam menghadapi krisis. satu-satunya jaminan untuk mengamankan bank di dalam negeri adalah mendorong Negara untuk mengontrol, mengintervensi, dan menasionalisasi bank-bank tersebut. Perppu JPSK hanya sedikit menebalkan kepercayaan masyarakat agar tidak panik terhadap situasi yang tiba-tiba.
Meskipun sudah coba diamankan, akan tetapi kemelut di perbankan nasional sudah terlanjur terjadi. NV Indover, yang merupakan anak perusahaan BI telah dijual sahamnya ke Bank Asing. Seperti diketahui, bahwa BI mempunyai empat anak perusahaan untuk mendukung kegiatan BI. Namun, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, BI harus menjual anak perusahaannya itu. BI sudah melikuidasi satu anak perusahaannya tahun lalu, yakni PT Bina Usaha Indonesia (BUI). BI saat ini tinggal memiliki PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo), PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI), serta Indover.
Sebelumnya, The Hongkong and Shanghai Banking Corporation Limited (HSBC) telah mengambil-alih PT Bank Ekonomi Raharja yang lebih dikenal sebagai Bank Ekonomi (BAEK); Malayan Banking Bhd (Maybank) mengakuisisi saham Bank Internasional Indonesia (BNII) dari Temasek dan Kookmin. Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) diakuisisi oleh Texas Pacific Group (TPG); PT Bank Nusantara Parahyangan (BNP) yang diakuisisi oleh dua perusahaan Jepang, Acom Co Ltd dan Bank of Tokyo Mitsubishi UFJ Ltd (BTMU). Bank Niaga yang diakuisisi grup penyedia jasa keuangan terbesar kedua di Malaysia, CIMB Group dan Bank Danamon yang diakuisisi Temasek (Singapura) melalui Konsorsium Asia Financial Indonesia. Sedangkan saham mayoritas Bank BCA juga dimiliki Farindo Investment Ltd, yang berbasis di Mauritius dan saham mayoritas Bank Buana Indonesia, kini Bank UOB Buana, dimiliki oleh United Overseas Bank (UOB) Ltd, salah satu bank terbesar di Singapura.
Selain itu, karena sehubungan dengan serbuan krisis financial, pemerintah mencoba memberikan kelonggaran dengan melepaskan tanggung-jawab negara dalam soal pengupahan. Dalam SKB 4 meteri, pemerintah lepas tangan soal negosiasi “UMR”, dan menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme bipartit. Pendekatan SBY untuk mengatasi krisis financial terhadap sector real, terutama industri nasional, terlalu neoliberalis. Hal tersebut, telah melemparkan kaum pekerja yang sudah lama menderita dibawah tekanan politik upah murah, system kontrak dan outsourcing, harus menanggung beban krisis ini sepenuhnya dipundak kaum buruh.
Padahal, jika pemerintah serius mau membentengi industri nasional, maka tindakan penting yang seharusnya dilakukan adalah menurunkan harga BBM, melakukan proteksi dan jaminan pasar terhadap produksi dalam negeri, menghapuskan pungli, Korupsi, serta menaikkan upah buruh.
Menyelamatkan Yang kaya dan Investor Asing
Sangat jelas, bahwa berbagai tindakan antisipatif pemerintah justru menyelematkan kaum kaya dan investor asing, dan mengalihkan beban krisis kepada ratusan juta orang miskin. Salah satu pengusaha nasional, yang kebetulan berasal dari lapian oligarki yang berkuasa sekarang, bakrie, yang perusahaannya sedang ambruk di pasar. Karena tak sanggup lagi bertahan dalam kompetisi pasar, maka Bakrie pun meminta SBY turun tangan menyelamatkannya, dan hal tersebut disetujui oleh SBY, Jusuf Kalla, dan Kadin.
Sungguh menggelikan perilaku pemerintahan SBY-JK ini.
Kendati ditentang oleh anak kandung neoliberalisme, Sri Mulyani, akan tetapi sepertinya kehendak SBY untuk menyelamatkan Bakrie sudah bulat, sebagai balas jasa atas dukungan bakrie terhadap pemerintahannya. Beberapa tokoh pun berteriak dan menentang, diantaranya adalah Wimar Witoelar.
Bukan itu saja, kebijakan buyback untuk mengamankan kepentingan investor asing justru menggerus APBN, yang dengan susah payah dikumpulkan dari rakyat. Meskipun tidak pernah disinggung total nilai yang dikeluarkan untuk buyback ini, tapi sejumlah ekonomi memprediksi paling minimal Rp. 400 trilyun. Dana sebesar itu merupakan separuh dari total APBN 2008 yang hanya 800 trilyun.
Bersamaan dengan berlansungnya krisis, harga sejumlah komoditas seperti jagung, kedelai, gula, dan gandum terus merosot. Harga sawit mentah (CPO) juga semakin tertekan. Kejatuhan harga komoditas akan memukul petani didalam negeri, yang begitu bergantung pada kenaikan harga sejumlah komoditas di pasar internasional. Petani sawit yang baru saja menikmati kenaikan harga CPO dunia, tiba-tiba menjerit akibat kejatuhan harga CPO akibat turunnya permintaan dari Negara maju.
Krisis yang berlansung di AS, juga mendera sector industri dalam negeri. Krisis ekonomi menyebatkan pengetatan dan mobilisasi Negara dari Negara berkembang untuk disuntikkan kepada ekonomi AS yang sakit. Akibatnya, sector industri di dalam negeri yang begitu bergantung pada pembiayaan dari luar, akan tergencet dan menciut. Hal itu menyebabkan mandeknya sector real, selain karena kebijakan pengetatan dari perbankan, sehingga mendorong PHK massal dan mengurangi penyerapan tenaga kerja baru.
SKB 4 menteri, yang baru dipertaruhkan untuk menyelamatkan industri nasional, akan berdampak luas terhadap kesejahteraan buruh. Atas nama kepentingan industri nasional, pengusaha akan dengan semena-mena memaksakan negosiasi untuk menurunkan upah buruh (UMR), yang sebelumnya memang sudah bernilai minimum. Upaya pemerintah ini tidak akan memberikan “perisai kebal” terhadap krisis financial, karena beberapa factor yang menekan industri nasional, seperti mahal dan langkanya pasokan energi, pungli, liberalisasi perdangan, masih terus dipertahankan oleh pemerintahan SBY-JK. Buruh tetap menjadi korban dan diharuskan membayar lebih beban ekomomi akibat krisis.
Langkah penyelamatan ekonomi SBY, bukan hanya untuk menyelamatkan orang kaya dan investor asing, tapi juga mengalihkan beban “krisis” kepada orang miskin, khususnya klas pekerja, petani, kaum miskin kota dan sector sosial lainnya.
Mengutamakan kepentingan Nasional
Mencegah dampak lebih luas dari krisis, seharusnya pemerintah memprioritaskan kerja pada upaya membentengi ekonomi nasional dengan proteksi dan control terhadap system financial. Negara dapat membentuk lembaga keuangan yang benar-benar baru, yang punya kewenangan dan instrumen untuk bertindak menghadapi aksi-aksi spekulasi.
Selain itu, karena cukup mendesak, seharusnya Negara segera mengambil langkah-langkah berikut untuk sector perbankan;
Normalisasi terhadap system financial, hanya merupakan langkah darurat menghindari krisis financial, tapi yang terpenting adalah langkah strategis dalam menciptakan ekonomi yang bertujuan pada pemenuhan kebutuhan dasar seluruh rakyat. Krisis yang berlansung sekarang, merupakan krisis yang bersumberkan pada system neoliberalisme. Krisis yang sudah sejak lama dibebankan kepada Negara selatan, dan menciptakan kerusakan ekonomi luar biasa.
Menggeser ekonom pro-neoliberal
Semakin mendesak, dari perkembangan situasi politik dan ekonomi internasional dan pengaruhnya di dalam negeri, adalah menggeser peran dominan ekonom pro-neoliberal dan kekuatan politik yang mempertahankannya. Pendekatan SBY menghadapi krisis benar-benar berdasarkan rumus neoliberalisme, yang bukannya menciptakan jalan keluar, malah akan semakin membuka pintu ekonomi nasional untuk digempur oleh krisis financial global. Pernyataan presiden SBY bahwa pemerintah benar-benar akan mengutamakan kepentingan nasional, dalam upaya membendung pengaruh krisis global. Kenyataannya, seluruh anggaran nasional yang sebagian besarnya dikumpulkan oleh rakyat, digelontorkan kepada investor asing dan birokrat penghisap seperti Aburizal Bakrie. Tak dapat ditutupi pula bahwa pemerintah SBY masih berharap pada IMF, untuk mendapatkan pinjaman sebesar 5 milyar.
Sudah saatnya, terutama oleh spectrum politik nasionalis, sosialis-kerakyatan, religius –progressif, untuk menegaskan penentangan terhadap jalan neoliberalistik SBY, sembari mendorong komite bersama untuk penyelamatan ekonomi nasional, yang berisikan ekonom-ekonom, politisi, dan intelektual anti neoliberal dan pro-rakyat.
Komite penyelamatan ekonomi nasional, yang akan mengajukan proposal tandingan terhadap ekonom neoliberal SBY-JK, dibentuk terutama dari lapisan ekonom yang selama ini terbuka menentang cara-cara antisipasi krisis SBY-JK, seperti Rizal Ramli, Hendri Saparini, Revrisond Baswir, Ichsanuddin Noersy, dan sebagainya. Selain itu, mengajak sejumlah politisi dan intelektual yang berkecenderungan anti neoliberal dan berseberangan dengan kelompok pendukung neoliberal SBY-JK.
Proposal yang diajukan, supaya mendapat dukungan luas dari sector-sektor korban neoliberal, akan menyertakan mandat rakyat lewat penggalangan dukungan, baik petisi ataupun referendum. Proposal tersebut, karena merupakan mandat rakyat, akan mendapatkan legitimasi politik untuk menggantikan ekonom pro-neoliberal, terutama dalam situasi khusus menghadapikrisis ini.
Haluan Ekonomi Baru; Berdikari
Perlu ditekankan bahwa krisis neoliberalisme hanya dapat diakhir dengan memutar haluan ekonomi, yang sebelumnya pro neoliberal, menjadi lebih berdikari, mandiri, dan menguatamakan kepentingan seluruh rakyat. Untuk itu, diperlukan upaya untuk mendorong pemunculan alternatif ekonomi baru yang berdiri atas kepentingan nasional.
Proses pemunculan alternatif ekonomi baru, bukan saja menjadi konsep dan slogan kosong, tapi harus diperjuangkan secara nyata bukan saja oleh kaum pergerakan anti-neoliberal, tapi juga oleh ekonom, politisi, dan intelektual anti-neoliberal dan pro-rakyat. Prioritas yang perlu dikerjakan oleh komite penyalamatan ekonomi nasional adalah memperjuangkan program-program berikut;
Konsep haluan ekonomi baru, yaitu berdikari, bukan saja diperjuangkan dalam situasi krisis seperti sekarang, tetapi harus diperjuangkan oleh seluruh kekuatan politik secara bersama-sama, dalam segala arena perjuangan. Perlu ditegaskan disini, bahwa ekonomi berdikari tidak mungkin tercipta dibawah pemerintahan SBY, tapi harus diperjuangkan bersamaan dengan sebuah pemerintahan baru, yaitu pemerintahan Koalisi Persatuan Nasional untuk kemandirian Bangsa.
*Penulis adalah Pengelolah Jurnal Arah-KIRI, peneliti di
Lembaga Pembebasan dan Media Ilmu Sosial (LPMIS), dan pengurus Papernas.
Oleh: RUDI HARTONO*
Bulan September 2008, merupakan “lonceng kematian” bagi sejumlah lembaga keuangan yang berada di wall-street, New York. Bagaimana tidak, badai krisis yang menerjang telah menggulung sejumlah lembaga keuangan tertua di dunia tersebut. Lehman Brothers, yang telah berinvestasi 158 sebagai bank financial global, akhirnya “gulung tikar”. Merryll Linch akhirnya diambil alih oleh Bank of Amerika. Sedangkan AIG, yang sebelumnya sudah begitu menderita, akhirnya diselamatkan oleh pemerintah. Semua pihak, terutama dari spektrum kiri, sudah jauh hari memprediksikan hal ini, sebagai buah dari keserakahan kapitalisme dan spekulasi yang berlansung dibawah koridor “deregulasi keuangan”. Akibatnya, dampak krisis ini akan memiliki ritme yang panjang dan berpotensi “menular” kepada Negara-negara lain, setidaknya hingga beberapa tahun kedepan. Krisis financial yang sedang menghisap darah ekonomi amerika, berpotensi besar akan menjalar ke Negara-negara lain, terutama Negara selatan yang selama ini menjadi pasien dari system neoliberal yang dipromosikan AS.
Di Indonesia, pengaruh krisis financial di AS mulai terasa cukup kuat, baik di sector financial maupun sector real. Pengaruh lansung krisis financial AS telah menciptakan kepanikan luar biasa pada otoritas financial. Kejatuhan harga saham, yang seolah terjun bebas, telah mendorong otoritas saham untuk menutup sementara Bursa Efek Indonesia (BEI), selama beberapa hari. Bukan otoritas financial saja yang panik, pemerintahan SBY-JK pun sudah memperlihatkan kepanikan luar biasa. Presiden nampak menggelar dan memimpin rapat cabinet paripurna secara mendadak dan berkali-kali. Walaupun demikian, beberapa cara yang ditempuh pemerintah SBY belum memperhatikan kepentingan nasional, tapi mendahulukan kepentingan asing dan negara-negara imperialis.
Skema Antisipasi diatas jalan Neoliberal
Meskipun terkesan serius dan bekerja maksimum, tapi respon politik yang diambil pemerintah untuk mengantisipasi dampak krisis financial di AS, kelihatan tidak mampu mengeluarkan ekonomi nasional dari sirkuit berbahaya; kerusakan system financial global. Dalam beberapa kali rapat kabinet mendadak, yang menghasilkan sejumlah langkah ekonomi SBY, kelihatan bahwa pemerintah tidak bergeser dari paradigma ekonomi neoliberal. Beberapa keputusan yang diambil pemerintah tidak mencerminkan kepentingan untuk penyelamatan terhadap ekonomi nasional, diantaranya; Pertama, kebijakan buy-back saham dengan menggunakan APBN lewat BUMN, yang diperkirakan mencapai Rp. 400 trilyun. Kedua, menerbitkan system pengamanan untuk system keuangan, dengan menerbitkan sejumlah Perppu JPSK yang akan mempertahankan likuiditas perbankan.
Ancaman terbesar terhadap kerentanan fundamental perekonomian Indonesia, terutama sector keuangan, adalah aksi-aksi spekulasi, pelarian capital keluar (capital flight) negeri, dan pengambilan asset bank dalam negeri oleh Bank asing. Sejauh ini, sistem perbankan yang sudah mengglobal telah menunjukkan kerapuhan, yang dengan seketika menciptakan kerusakan besar.
Kebijakan Buyback hanya akan menggerus anggaran APBN, dan dialirkan untuk membiayai investor asing dan perusahaan financial internasional. Tidak ada jaminan yang pasti, untuk mencegah investor merelokasi dan merekomposisi asetnya ketempat aman, selain kebijakan pengontrolan ketat dari pemerintah. Satu-satunya kepercayaan para investor adalah dibimbing untuk senantiasa mengambil resiko guna mendapatkan sejumlah keuntungan dalam waktu singkat, dan sesegera mungkin memindahkan asetnya ke tempat aman jika terjadi sedikit gangguan.
Sedangkan kebijakan Perppu JPSK, sebagai perangkat hukum untuk mempertahankan likuiditas perbankan, hanya “pengaman sementara” dalam menghadapi krisis. satu-satunya jaminan untuk mengamankan bank di dalam negeri adalah mendorong Negara untuk mengontrol, mengintervensi, dan menasionalisasi bank-bank tersebut. Perppu JPSK hanya sedikit menebalkan kepercayaan masyarakat agar tidak panik terhadap situasi yang tiba-tiba.
Meskipun sudah coba diamankan, akan tetapi kemelut di perbankan nasional sudah terlanjur terjadi. NV Indover, yang merupakan anak perusahaan BI telah dijual sahamnya ke Bank Asing. Seperti diketahui, bahwa BI mempunyai empat anak perusahaan untuk mendukung kegiatan BI. Namun, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, BI harus menjual anak perusahaannya itu. BI sudah melikuidasi satu anak perusahaannya tahun lalu, yakni PT Bina Usaha Indonesia (BUI). BI saat ini tinggal memiliki PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo), PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI), serta Indover.
Sebelumnya, The Hongkong and Shanghai Banking Corporation Limited (HSBC) telah mengambil-alih PT Bank Ekonomi Raharja yang lebih dikenal sebagai Bank Ekonomi (BAEK); Malayan Banking Bhd (Maybank) mengakuisisi saham Bank Internasional Indonesia (BNII) dari Temasek dan Kookmin. Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) diakuisisi oleh Texas Pacific Group (TPG); PT Bank Nusantara Parahyangan (BNP) yang diakuisisi oleh dua perusahaan Jepang, Acom Co Ltd dan Bank of Tokyo Mitsubishi UFJ Ltd (BTMU). Bank Niaga yang diakuisisi grup penyedia jasa keuangan terbesar kedua di Malaysia, CIMB Group dan Bank Danamon yang diakuisisi Temasek (Singapura) melalui Konsorsium Asia Financial Indonesia. Sedangkan saham mayoritas Bank BCA juga dimiliki Farindo Investment Ltd, yang berbasis di Mauritius dan saham mayoritas Bank Buana Indonesia, kini Bank UOB Buana, dimiliki oleh United Overseas Bank (UOB) Ltd, salah satu bank terbesar di Singapura.
Selain itu, karena sehubungan dengan serbuan krisis financial, pemerintah mencoba memberikan kelonggaran dengan melepaskan tanggung-jawab negara dalam soal pengupahan. Dalam SKB 4 meteri, pemerintah lepas tangan soal negosiasi “UMR”, dan menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme bipartit. Pendekatan SBY untuk mengatasi krisis financial terhadap sector real, terutama industri nasional, terlalu neoliberalis. Hal tersebut, telah melemparkan kaum pekerja yang sudah lama menderita dibawah tekanan politik upah murah, system kontrak dan outsourcing, harus menanggung beban krisis ini sepenuhnya dipundak kaum buruh.
Padahal, jika pemerintah serius mau membentengi industri nasional, maka tindakan penting yang seharusnya dilakukan adalah menurunkan harga BBM, melakukan proteksi dan jaminan pasar terhadap produksi dalam negeri, menghapuskan pungli, Korupsi, serta menaikkan upah buruh.
Menyelamatkan Yang kaya dan Investor Asing
Sangat jelas, bahwa berbagai tindakan antisipatif pemerintah justru menyelematkan kaum kaya dan investor asing, dan mengalihkan beban krisis kepada ratusan juta orang miskin. Salah satu pengusaha nasional, yang kebetulan berasal dari lapian oligarki yang berkuasa sekarang, bakrie, yang perusahaannya sedang ambruk di pasar. Karena tak sanggup lagi bertahan dalam kompetisi pasar, maka Bakrie pun meminta SBY turun tangan menyelamatkannya, dan hal tersebut disetujui oleh SBY, Jusuf Kalla, dan Kadin.
Sungguh menggelikan perilaku pemerintahan SBY-JK ini.
Kendati ditentang oleh anak kandung neoliberalisme, Sri Mulyani, akan tetapi sepertinya kehendak SBY untuk menyelamatkan Bakrie sudah bulat, sebagai balas jasa atas dukungan bakrie terhadap pemerintahannya. Beberapa tokoh pun berteriak dan menentang, diantaranya adalah Wimar Witoelar.
Bukan itu saja, kebijakan buyback untuk mengamankan kepentingan investor asing justru menggerus APBN, yang dengan susah payah dikumpulkan dari rakyat. Meskipun tidak pernah disinggung total nilai yang dikeluarkan untuk buyback ini, tapi sejumlah ekonomi memprediksi paling minimal Rp. 400 trilyun. Dana sebesar itu merupakan separuh dari total APBN 2008 yang hanya 800 trilyun.
Bersamaan dengan berlansungnya krisis, harga sejumlah komoditas seperti jagung, kedelai, gula, dan gandum terus merosot. Harga sawit mentah (CPO) juga semakin tertekan. Kejatuhan harga komoditas akan memukul petani didalam negeri, yang begitu bergantung pada kenaikan harga sejumlah komoditas di pasar internasional. Petani sawit yang baru saja menikmati kenaikan harga CPO dunia, tiba-tiba menjerit akibat kejatuhan harga CPO akibat turunnya permintaan dari Negara maju.
Krisis yang berlansung di AS, juga mendera sector industri dalam negeri. Krisis ekonomi menyebatkan pengetatan dan mobilisasi Negara dari Negara berkembang untuk disuntikkan kepada ekonomi AS yang sakit. Akibatnya, sector industri di dalam negeri yang begitu bergantung pada pembiayaan dari luar, akan tergencet dan menciut. Hal itu menyebabkan mandeknya sector real, selain karena kebijakan pengetatan dari perbankan, sehingga mendorong PHK massal dan mengurangi penyerapan tenaga kerja baru.
SKB 4 menteri, yang baru dipertaruhkan untuk menyelamatkan industri nasional, akan berdampak luas terhadap kesejahteraan buruh. Atas nama kepentingan industri nasional, pengusaha akan dengan semena-mena memaksakan negosiasi untuk menurunkan upah buruh (UMR), yang sebelumnya memang sudah bernilai minimum. Upaya pemerintah ini tidak akan memberikan “perisai kebal” terhadap krisis financial, karena beberapa factor yang menekan industri nasional, seperti mahal dan langkanya pasokan energi, pungli, liberalisasi perdangan, masih terus dipertahankan oleh pemerintahan SBY-JK. Buruh tetap menjadi korban dan diharuskan membayar lebih beban ekomomi akibat krisis.
Langkah penyelamatan ekonomi SBY, bukan hanya untuk menyelamatkan orang kaya dan investor asing, tapi juga mengalihkan beban “krisis” kepada orang miskin, khususnya klas pekerja, petani, kaum miskin kota dan sector sosial lainnya.
Mengutamakan kepentingan Nasional
Mencegah dampak lebih luas dari krisis, seharusnya pemerintah memprioritaskan kerja pada upaya membentengi ekonomi nasional dengan proteksi dan control terhadap system financial. Negara dapat membentuk lembaga keuangan yang benar-benar baru, yang punya kewenangan dan instrumen untuk bertindak menghadapi aksi-aksi spekulasi.
Selain itu, karena cukup mendesak, seharusnya Negara segera mengambil langkah-langkah berikut untuk sector perbankan;
- melakukan nasionalisasi terhadap perbankan, terutama bank-bank yang sedang berhadapan dengan kesulitan keuangan.
- pembekuan sementara bank-bank asing, karena mereka dapat menjadi perisai berbahaya terhadap regulasi financial dalam situasi krisis.
- menghentikan dan memulihkan dana talangan, dengan menggunakan asset-aset bank yang ada, serta memperluas peran Negara untuk meregulasi asset pemegang saham.
- melakukan control terhadap mata uang (Currency Exchange Control - CEC). Harga dollar dipatok untuk periode yang lama dan terlepas dari tingginya angka inflasi yang tercatat dalam ekonomi nasional sebelumnya. Mekanisme CEC akan memberikan pertahanan yang cukup bagi indonesia menghadapi krisis financial, meskipun tanpa melibatkan cadangan devisa.
- memberlakukan pajak terhadap setiap transaksi financial dan valuta asing.
- mendorong institusi keuangan untuk melakukan investasi non-profit, terutama dalam menyalurkan kredit murah kepada rakyat miskin dalam mengembankan ekonominya, serta investasi sosial lainnya; pendidikan dan kesehatan.
- menghentikan aliran dana buy-back, untuk kemudian dialihkan kepada investasi sosial.
Normalisasi terhadap system financial, hanya merupakan langkah darurat menghindari krisis financial, tapi yang terpenting adalah langkah strategis dalam menciptakan ekonomi yang bertujuan pada pemenuhan kebutuhan dasar seluruh rakyat. Krisis yang berlansung sekarang, merupakan krisis yang bersumberkan pada system neoliberalisme. Krisis yang sudah sejak lama dibebankan kepada Negara selatan, dan menciptakan kerusakan ekonomi luar biasa.
Menggeser ekonom pro-neoliberal
Semakin mendesak, dari perkembangan situasi politik dan ekonomi internasional dan pengaruhnya di dalam negeri, adalah menggeser peran dominan ekonom pro-neoliberal dan kekuatan politik yang mempertahankannya. Pendekatan SBY menghadapi krisis benar-benar berdasarkan rumus neoliberalisme, yang bukannya menciptakan jalan keluar, malah akan semakin membuka pintu ekonomi nasional untuk digempur oleh krisis financial global. Pernyataan presiden SBY bahwa pemerintah benar-benar akan mengutamakan kepentingan nasional, dalam upaya membendung pengaruh krisis global. Kenyataannya, seluruh anggaran nasional yang sebagian besarnya dikumpulkan oleh rakyat, digelontorkan kepada investor asing dan birokrat penghisap seperti Aburizal Bakrie. Tak dapat ditutupi pula bahwa pemerintah SBY masih berharap pada IMF, untuk mendapatkan pinjaman sebesar 5 milyar.
Sudah saatnya, terutama oleh spectrum politik nasionalis, sosialis-kerakyatan, religius –progressif, untuk menegaskan penentangan terhadap jalan neoliberalistik SBY, sembari mendorong komite bersama untuk penyelamatan ekonomi nasional, yang berisikan ekonom-ekonom, politisi, dan intelektual anti neoliberal dan pro-rakyat.
Komite penyelamatan ekonomi nasional, yang akan mengajukan proposal tandingan terhadap ekonom neoliberal SBY-JK, dibentuk terutama dari lapisan ekonom yang selama ini terbuka menentang cara-cara antisipasi krisis SBY-JK, seperti Rizal Ramli, Hendri Saparini, Revrisond Baswir, Ichsanuddin Noersy, dan sebagainya. Selain itu, mengajak sejumlah politisi dan intelektual yang berkecenderungan anti neoliberal dan berseberangan dengan kelompok pendukung neoliberal SBY-JK.
Proposal yang diajukan, supaya mendapat dukungan luas dari sector-sektor korban neoliberal, akan menyertakan mandat rakyat lewat penggalangan dukungan, baik petisi ataupun referendum. Proposal tersebut, karena merupakan mandat rakyat, akan mendapatkan legitimasi politik untuk menggantikan ekonom pro-neoliberal, terutama dalam situasi khusus menghadapikrisis ini.
Haluan Ekonomi Baru; Berdikari
Perlu ditekankan bahwa krisis neoliberalisme hanya dapat diakhir dengan memutar haluan ekonomi, yang sebelumnya pro neoliberal, menjadi lebih berdikari, mandiri, dan menguatamakan kepentingan seluruh rakyat. Untuk itu, diperlukan upaya untuk mendorong pemunculan alternatif ekonomi baru yang berdiri atas kepentingan nasional.
Proses pemunculan alternatif ekonomi baru, bukan saja menjadi konsep dan slogan kosong, tapi harus diperjuangkan secara nyata bukan saja oleh kaum pergerakan anti-neoliberal, tapi juga oleh ekonom, politisi, dan intelektual anti-neoliberal dan pro-rakyat. Prioritas yang perlu dikerjakan oleh komite penyalamatan ekonomi nasional adalah memperjuangkan program-program berikut;
- Menurunkan harga BBM dan pencabutan UU nomor 22 tahun 2001 tetang migas, karena telah menjadi pintu bagi liberalisasi sector energi indonesia, khususnya migas.
- nasionalisasi perusahaan pertambangan milik asing, jikalau dirasa belum sanggup, maka secepatnya pemerintah merombak skema kontrak bagi hasil untuk memacu peningkatan penerimaan negara dari sector pertambangan.
- pemerintah harus menjamin pasokan energi, terutama BBM, untuk kebutuhan rakyat dan industri. Untuk kebutuhan industri, pemerintah juga harus memperluas peran KPK untuk membersihkan korupsi dan pungli yang merintangi pertumbuhan industri nasional.
- mendorong industrialisasi nasional, dengan meletakkan pembangunan pertanian sebagai dasar dan industrialisasi sebagai arahnya.
- mengontrol kenaikan harga sembako dan membersihkan jalur distribusi pangan dari perilaku mafia; penimbunan dan penyelundupan.
- menaikkan anggaran pendidikan dan kesehatan hingga dapat diakses dengan mudah oleh seluruh rakyat.
- menaikkan upah buruh secara nasional, minimal sebesar Rp. 1,2 juta (berdasarkan survey FNPBI); menghapuskan system kontrak dan outsourcing.
- memperjuangkan pencabutan seluruh UU yang berbau neoliberal, seperti UU nomor 22 tahun 2001, UU PMA, UU nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, UU SDA, dan sebagainya, serta membatalkan semua kesepakatan perdagangan dengan WTO.
- melindungi dan memberikan insentif kepada seluruh produk eskpor dengan cara menurunkan tarif ekspor dan menaikkan tarif impor produk sejenisnya.
- Mendukung inisiatif kerjasama regional yang berdasarkan solidaritas, terutama dalam kerjasama menyiapkan dana bantuan bersama yang dapat dipinjamkan kepada negara anggota yang membutuhkan, bukan dengan proposal Inisiatif Chiang Mai.
Konsep haluan ekonomi baru, yaitu berdikari, bukan saja diperjuangkan dalam situasi krisis seperti sekarang, tetapi harus diperjuangkan oleh seluruh kekuatan politik secara bersama-sama, dalam segala arena perjuangan. Perlu ditegaskan disini, bahwa ekonomi berdikari tidak mungkin tercipta dibawah pemerintahan SBY, tapi harus diperjuangkan bersamaan dengan sebuah pemerintahan baru, yaitu pemerintahan Koalisi Persatuan Nasional untuk kemandirian Bangsa.
*Penulis adalah Pengelolah Jurnal Arah-KIRI, peneliti di
Lembaga Pembebasan dan Media Ilmu Sosial (LPMIS), dan pengurus Papernas.
No comments:
Post a Comment