Thursday, January 14, 2010

TEORI POLITIK EKONOMI ISLAM

A. Perbandingan Politik Ekonomi Islam dan Politik Ekonomi Konvensional

1. Keseimbangan Nilai-nilai Spiritualisme dan Materialisme

a. Politik ekonomi konvensional hanya terfokus pada nilai-nilai materialisme suatu barang dengan mengabaikan nilai-nilai spiritualisme dan etika kehidupan bermasyarakat. Sistem kapitalisme memisahkan nilai-nilai agama dalam berbagai kegiatan dan kebijakan ekonomi. Kehidupan masyarakat lepas dari koridor agama, sehingga kebijakan individu memiliki peranan yang dominan dalam pengembangan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Akibatnya terbentuk masyarakat yang individualistik dan materialistik. Sedangkan dalam konsep marxisme, agama merupakan faktor penghambat bagi terciptanya kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat.

b. Politik ekonomi Islam menempatkan nilai-nilai spiritualisme dan materialisme secara seimbang. Konsep keseimbangan juga tampak dalam Rukun Islam: di samping ada perintah untuk mengakui keesaaan Allah Swt, membenarkan risalah Muhammad Saw, dan mengerjakan sholat, ada juga perintah untuk membayar zakat harta. Dalam konsep zakat, terdapat nilai-nilai spiritualisme dan materialisme, karena zakat merupakan ibadah yang berdimensi sosial. Zakat juga merupakan salah satu instrumen untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta merupakan sumber dana jaminan sosial. Dengan zakat, kebutuhan pokok masyarakat akan terpenuhi, sehingga aggregat demand yang ada tetap terjaga dan dapat menggairahkan sektor produksi.

>2. Kebebasan Berekonomi

a. Kapitalisme mengajarkan kebebasan individu pada kegiatan ekonomi dengan menekankan prinsip persamaan bagi setiap individu dalam kegiatan ekonomi secara bebas untuk meraih kemakmuran. Namun kebebasan ini tidak diimbangi dengan proses distribusi pendapatan dan kekayaan secara adil dan merata. Sedangkan dalam konsep sosialisme, masyarakat tidak mempunyai kebebasan sedikitpun dalam melakukan kegiatan ekonomi. Kepemilikan individu dihilangkan dan tidak ada kebebasan untuk melakukan transaksi dalam kesepakatan perdagangan.

b. Ekonomi Islam membenarkan kepemilikan individu dan kebebasan bertransaksi sepanjang tetap dalam kerangka syariah. Kebebasan tersebut akan mendorong masyarakat untuk beramal dan berproduksi demi terwujudnya kemaslahatan masyarakat. Di sisi lain, ekonomi Islam juga membenarkan adanya campur tangan pemerinah, terutama jika perekonomian dalam keadaan darurat, namun tetap dalam kerangka syariah. Campur tangan pemerintah mutlak diperlukan ketika kegiatan ekonomi menimbulkan kemudharatan bagi kemaslahatan masyarakat, dan ketika pasar tidak beroperasi secara normal akibat penyimpangan mekanisme pasar, seperti terjadinya monopoli.

3. Dualisme Kepemilikan

a. Alam semesta beserta isinya merupakan milik Allah. Manusia hanyalah wakil Allah dalam rangka memakmurkan dan menyejahterakan bumi. Oleh karena itu setiap kewajiban ekonomi yang diambil manusia untuk memakmurkan alam semesta tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Allah.

b. Meskipun harta yang dimiliki oleh manusia merupakan titipan Allah, manusia diberi kebebasan untuk memberdayakan, mengelola, dan memanfaatkan harta benda sesuai dengan syar’i. Kepemilikan manusia terhadap sumber daya alam terbagi menjadi kepemilikan individu dan kepemilikan publik. Ekonomi Islam membenarkan kepemilikan individu, tetapi tidak bersifat mutlak. Manusia tidak boleh menghalalkan segala cara yang dapat merugikan kemaslahatan masyarakat. Kepemilikan publik merupakan penyeimbang kepemilikan individu. Asas dan pijakan kepemilikan publik adalah kemaslahatan bersama Setiap komoditas dan sumber daya alam yang dapat menciptakan dan menjaga kemaslahatan bersama merupakan milik publik yang tidak boleh dimiliki secara individu. Kepemilikan atas barang publik dapat didelegasikan kepada pemerintah atau lembaga lain yang memiliki nilai-nilai amanah dan tanggung jawab yang dapat dibenarkan oleh syariah.

c. Berkaitan dengan kepemilikan publik, Rasulullah pernah bersabda: “Manusia bersekutu dalam tiga hal, yakni air, padang sahara, dan api.” Ketiga benda yang disebutkan Rasulullah dengan demikian merupakan benda milik publik. Namun benda milik publik tidak terbatas hanya pada tiga benda tersebut. Benda publik lainnya, misalnya seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Qudamah (1401 H): “Segala hasil tambang yang menjadi pilar utama kemaslahatan hidup bersama seperti air, garam, sulfur, aspal, gift, minyak, batu bara, dan lain-lain tidak boleh dikuasai oleh individu yang tujuannya bukan untuk kemaslahatan bersama, karena hal tersebut akan menimbulkan kerugian dan kesengsaraan bagi kehidupan masyarakat.

4. Menjaga Kemaslahatan Individu dan Bersama

a. Ekonomi Islam bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan bagi individu dan masyarakat,di mana kemaslahatan individu dan bersama harus saling mendukung. Kemaslahatan individu tidak boleh dikorbankan demi kemaslahatan bersama dan sebaliknya. Untuk mengatur dan menjaga kemaslahatan masyarakat diperlukan instansi yang mendukung. Dalam ekonomi Islam, instansi keuangan yang berfungsi sebagai pengawas atas segala kegiatan ekonomi adalah Al-Hisbah. Lembaga ini bertugas untuk mengawasi semua infrastruktur yang terlibat dalam mekanisme pasar. Jika dalam mekanisme pasar terjadi penyimpangan operasional, maka Al-Hisbah berhak melakukan intervensi. Al-Hisbah juga memiliki wewenang untuk mengatur tata letak kegiatan ekonomi. Ia wajib untuk menyediakan fasilitas kegiatan ekonomi demi terciptanya kemaslahatan bersama.

b. Kemaslahatan bersama dapat pula diwujudkan dengan penetapan harga yang adil dan upah yang sesuai dengan pekerjaan, serta aplikasi konsep shadaqah dan zakat. Di samping itu, dengan mewajibkan pajak, menentukan kaidah berkonsumsi, dan mengelola harta orang safih (yang tidak mengetahui kalkulasi matematis ekonomi) serta menumbuhkan sektor produksi.

B. Ekonomi Islam dan Permasalahan Ekonomi Konvensional

1. Masalah Dasar Ekonomi

a. Keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup merupakan naluri manusia. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia akan menjumpai barang dan jasa yang untuk memperolehnya diperlukan suatu pengorbanan, misalnya ditukar dengan uang atau alat tukar lainnya, yang disebut sebagai barang ekonomi. Sedangkan barang-barang kebutuhan manusia yang untuk memperolehnya tidak memerlukan pengorbanan disebut barang bebas.

b. Ketika manusia masih bisa memenuhi semua kebutuhannya dari sumber daya yang ada, maka tidak akan terjadi persoalan dan bahkan tidak akan ada persaingan. Namun ketika kebutuhan manusia akan barang dan jasa sudah melebihi kemampuan penyediaan barang dan jasa tersebut, maka terjadilah kelangkaan (scarcity). Dalam situasi seperti ini, manusia akan menghadapi pilihan untuk mengalokasikan sumber daya yang dikuasainya agar kebutuhannya terpenuhi secara optimal. Baik individu maupun masyarakat secara keseluruhan akan menghadapi masalah alokasi sumber daya ini.

c. Adanya kelangkaan barang tersebut tidak berarti bahwa sumber daya yang ada tidak mampu mencukupi kebutuhan setiap individu dalam masyarakat. Kelangkaan tersebut bersifat relatif, tidak absolut. Bisa saja, kelangkaan diakibatkan oleh adanya tekanan tertentu. Misal, isu kenaikan harga BBM akan mendorong masyarakat segera membeli lebih dari kebutuhan normal untuk mengantisipasi kenaikan harga. Permintaan mendadak yang melebihi pasokan normal mengakibatkan kelangkaan sementara pada komoditas tersebut.

d. Menurut Masudul Alam Choudury dalam bukunya Contributions to Islamic Economic Theory, manusia menduga adanya kelangkaan karena adanya keterbatasan pengetahuan tentang bagaimana caranya memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya. Dengan demikian, dalam Ekonomi Islam barang-barang yang dapat diolah oleh manusia dapat digolongkan sebagai barang yang memiliki kelangkaan, termasuk barang ekonomi. Sedangkan barang-barang yang masih di luar jangkauan kapasitas produktif manusia, bukanlah barang-barang yang langka, sehingga tergolong sebagai bukan barang ekonomi.

2. Relativitas Kelangkaan Barang

a. Pada dasarnya relativitas kelangkaan barang membuat hidup manusia lebih bermakna. Fenomena tersebut merupakan hikmah ilahiah yang mendorong manusia untuk memakmurkan bumi dan menciptakan kesejahteraan bagi kehidupan manusia. Manusia akan lebih terdorong untuk memakmurkan kehidupannya jika menemukan kesulitan dalam kehidupan ekonomi. Relativitas kelangkaan barang menuntut manusia untuk kreatif dalam menghasilkan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan hidupnya.

b. Allah Swt berfirman: “Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hambaNya, tentulah mereka akan melampaui batas di bumi ini.” (Q.S. Asy-Syura:27).

c. Dalam membagi rezeki kepada hamba-hambanya, Allah telah menentukan batasan, kadar, dan jenisnya. Allah mengetahui seberapa jauh kemampuan hambaNya untuk mengatur rezeki dan kekayaan yang telah diberikan tanpa melanggar syariah.

d. Kondisi kelangkaan barang juga dapat dijadikan sarana untuk menguji keimanan dan kesabaran manusia. Allah Swt berfirman: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buahbuahan. Dan beritahukanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al- Baqarah:155).

3. Keinginan dan Kebutuhan

a. Ilmu ekonomi pada dasarnya mempelajari upaya manusia baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat dalam rangka melakukan pilihan penggunaan sumber daya yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan akan barang dan jasa yang pada dasarnya tidak terbatas. Kelangkaan akan barang dan jasa timbul bila kebutuhan (keinginan) seseorang atau masyarakat lebih besar dari tersedianya barang dan jasa tersebut.

b. Ilmu ekonomi konvensional tidak membedakan antara kebutuhan dan keinginan, karena keduanya memiliki akibat yang sama jika tidak terpenuhi, yaitu kelangkaan. Sebaliknya, Imam Al-Ghazali membedakan dengan jelas antara keinginan (raghbah dan syahwat) dengan kebutuhan (hajat). Dari pemilahan antara keinginan (wants) dan kebutuhan (needs) ini menunjukkan adanya perbedaan antara ilmu ekonomi Islam dan ilmu ekonomi konvensional.

c. Imam Al-Ghazali menjelaskan, bahwa kebutuhan adalah keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menjalankan fungsinya. Misalnya kebutuhan akan makanan dan pakaian. Makanan digunakan untuk menolak kelaparan dan melangsungkan hidup, sedangkan pakaian digunakan untuk menolak panas dan dingin. Pada tahap ini tampaknya memang tidak bisa dibedakan antara keinginan dan kebutuhan. Namun manusia harus mengetahui, bahwa tujuan utama dari diciptakannya nafsu ingin makan adalah untuk menggerakkannya mencari makanan dalam rangka menutup kelaparan, sehingga badanya tetap sehat dan mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah. Di sinilah letak perbedaan yang mendasar antara filosofi yang melandasi teori ekonomi Islam dan ekonomi konvensional.

d. Ekonomi konvensional beranggapan bahwa kebutuhan adalah keinginan dan sebaliknya. Penyamaan ini berakibat pada terkurasnya sumber-sumber daya alam secara membabi buta dan menciptakan ketidakseimbangan ekologi.

4. Konsep Kelangkaan dari Ad-Dimasqi

a. Air dan batu permata memiliki nilai dan manfaat yang saling bertolak belakang. Air adalah zat yang sangat berguna bagi makhluk hidup, namun jika dinilai dengan uang, harganya tidaklah terlalu berarti. Sebaliknya, permata adalah benda yang dapat dikatakan tidak ada manfaatnya bagi makhluk hidup dan kehidupan itu sendiri, namun harganya beribu kali lebih tinggi dari harga air yang sangat bermanfaat itu. Fenomena ini dikenal sebagai paradox water diamond.

b. Selama berabad-abad para ahli, temasuk Adam Smith, gagal untuk menjelaskan paradoks tentang nilai air dan permata. Baru pada abad ke-18 para ahli berhasil mendapatkan jawaban yang memuaskan atas paradoks tersebut, yaitu dengan munculnya teori marginal.

c. Menurut para marginalis, nilai suatu barang dan harganya tidaklah semata-mata ditentukan oleh manfaat dari benda itu sendiri. Ada aspek lain yang lebih penting, yaitu rudrah (kelangkaan). Air begitu mudah didapatkan, sehingga nilainya pun berkurang. Sebaliknya, permata meskipun tidak bermanfaat bagi manusia, namun karena langka dan untuk mendapatkannya memerlukan ongkos yang besar, harganya menjadi tinggi.

d. Penjelasan semacam itu sebenarnya telah dikemukakan oleh Ad-Dimasqi kurang lebih 6 abad sebelum ditemukan teori marginalisme dalam ilmu ekonomi konvensional. Dalam bukunya Al-Isyarah Ad-Dimasqi menjelaskan: “Sesungguhnya batu akik termasuk batu mulia yang sangat indah kalau bukan karena banyaknya. Justru karena banyaknya, harga batu akik jadi berkurang sekalipun memiliki sifat keindahan yang dicari. Jika batu akik itu demikian halnya, maka batu-batu mulia yang lain pun memilik persoalan yang sama, yaitu mereka menjadi mahal dan tinggi harganya karena kelangkaan sumber-sumbernya.”

e. Ad-Dimasqi sebenarnya bukan orang pertama yang menjelaskan teka-teki ilmiah ini. Para ulama sebelumnya, seperti Al-Ghazali, sudah banyak mengupas persoalan paradoks nilai.

No comments:

Powered By Blogger