Friday, January 15, 2010

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (Money Laundering)

Published by Sie Infokum – Ditama Binbangkum

1. Sejarah

Money laundering sebagai salah satu jenis kejahatan kerah putih (white collar crime) yang sebenarnya sudah ada sejak tahun 1967. Pada saat itu, seorang perompak di laut, Henry Every, dalam perompakannya terakhir merompak kapal Portugis berupa berlian senilai £325.000 poundsterling (setara Rp5.671.250.000). Harta rampokan tersebut kemudian dibagi bersama anak buahnya, dan bagian Henry Every ditanamkan pada transaksi perdagangan berlian dimana ternyata perusahaan berlian tersebut juga merupakan perusahaan pencucian uang milik perompak lain di darat.

Namun istilah money laundering baru muncul ketika Al Capone, salah satu mafia besar di Amerika Serikat, pada tahun 1920-an, memulai bisnis Laundromats (tempat cuci otomatis). Bisnis ini dipilih karena menggunakan uang tunai yang mempercepat proses pencucian uang agar uang yang mereka peroleh dari hasil pemerasan, pelacuran, perjudian, dan penyelundupan minuman keras terlihat sebagai uang yang halal. Walau demikian, Al Capone tidak dituntut dan dihukum dengan pidana penjara atas kejahatan tersebut, akan tetapi lebih karena telah melakukan penggelapan pajak.

Selain Al Capone, terdapat juga Meyer Lansky, mafia yang menghasilkan uang dari kegiatan perjudian dan menutupi bisnis ilegalnya itu dengan mendirikan bisnis hotel, lapangan golf dan perusahaan pengemasan daging. Uang hasil bisnis illegal ini dikirimkan ke beberapa bank-bank di Swiss yang sangat mengutamakan kerahasian nasabah, untuk didepositokan. Deposito ini kemudian diagunkan untuk mendapatkan pinjaman yang dipergunakan untuk membangun bisnis legalnya. Berbeda dengan Al Capone, Meyer Lansky justru terbebas dari tuntutan melakukan penggelapan pajak, tindak pidana termasuk tindak pidana pencucian uang yang dilakukannya.

2. Pengaturan Hukum

Sebelum tahun 1986, tindakan pencucian uang bukan merupakan kejahatan. Pada tahun 1980-an, jutaan uang hasil tindak kejahatan masuk dalam bisnis legal dan usaha-usaha ekonomi lain. Bahkan praktek money laundering tidak lagi sesederhana yang dilakukan Al Capone atau Meyer Lansky. Contohnya adalah pengakuan dari seorang mafia obat bius, Franklin Jurador yang menceritakan pemindahtanganan uang hasil kejahatan ke bisnis legal dilakukan dalam berbagai transaksi antara lain jual beli fiktif asset atau penitipan fiktif untuk keperluan investasi, yang melibatkan lebih banyak pihak, tidak hanya secara domestik namun juga antar negara, dengan transaksi yang lebih rumit.

Bahkan berkembangnya transaksi money laundering juga didukung fasilitas financial dunia perbankan, seperti layanan nomor rekening istimewa atau nostro account yang diberikan bank-bank Swiss sejak tahun 1930-an. Layanan ini mengidentifikasi nasabah dengan nomor sandi yang digunakan untuk transaksi sehingga bank tidak mengetahui siapa nasabah dan pihak yang menjadi lawan transaksi.

Beberapa bank di kawasan lepas pantai juga menyediakan fasilitas transfer uang antar negara, manajemen pengelolaan dana dan perlindungan asset yang mempermudah kegiatan pencucian uang. Perkembangan kejahatan kerah putih ini menimbulkan kekhawatiran internasional sebab dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas perekonomian karena perputaran dana dalam jumlah besar yang terjadi secara cepat dari satu tempat ke tempat lain bahkan dari satu atau lebih negara ke satu atau lebih negara lain. Untuk itu maka masalah money laundering mulai menjadi perhatian dan dibentuk beberapa peraturan perundang-undangan baik yang bersifat internasional maupun nasional :

a. Amerika Serikat :

Memiliki berbagai macam peraturan perundang-undangan seperti The Bank Secrecy Act (1970), Money Laundering Central Act. (1986), The Annunzio Wylie Act. dan Money Laundering Suppression Act. (1994). Dalam Bank Secrecy Act, terdapat kewajiban lembaga keuangan untuk melaporkan setiap transaksi alat pembayaran yang melebihi $10,000 kepada Internal Revenue Service yang dikenal dengan nama Currency Transaction Report (CTR). Termasuk juga di dalamnya Foreign Transactions Reporting Act yang memperbesar jumlah informasi keuangan yang harus disampaikan kepada instansi-instansi pemerintah yang bersangkutan dengan tindakan pidana, perpajakan dan penuntutan. Setelahnya dalam Money Laundering Central Act (MLCA) diatur adanya unsur yang harus dipenuhi untuk mengkategorikan tindak pidana pencucian uang yakni :
  1. terdapat transaksi finansial atau perpindahan internasional; dan
  2. terdapat kegiatan melanggar hukum tertentu.

b. Swiss, Thailand, Spanyol, Italia, Inggris, Jerman dan Perancis

Swiss memiliki The Money Laundering Act (1998), Thailand memiliki The Money Laundering Prevention and Suppresion Act (1999), Spanyol memiliki The Money Laundering Law (1993), sementara untuk negara Italia, Inggris, Jerman dan Perancis memiliki Penal Code yang mengatur ketentuan anti money laundering.

c. Indonesia

Pada tahun 1988, United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau lebih dikenal UN Drugs Convention ditandatangani 106 negara, dan Indonesia menjadi salah satu negara anggota yang kemudian baru meratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika. Selanjutnya pada tahun 1989 dan 1990 negara-negara yang tergabung dalam Group 7 melahirkan The Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) yang bertujuan mendorong Negara-negara agar menyusun peraturan perundang-undangan untuk mencegah mengalirnya uang hasil perdagangan narkotik baik melalui bank maupun lembaga keuangan bukan bank. Pada bulan April 1990, FATF memperluas pesertanya mencakup pusat keuangan 15 negara yang kemudian mengeluarkan rekomendasi yang paralel dengan UN Drug Convention agar Negara-negara menciptakan peraturan perundang-undangan mengawasi money laundering.

Upaya pemberantasan peredaran gelap obat bius ini diikuti dengan upaya pemberantasan pencucian uang dalam skala internasional karena kegiatan pencucian uang kerap kali digunakan untuk menutupi hasil perdagangan obat bius yang diwujudkan dalam pembentukan konvensi The International Anti-Money Laundering Legal Regime. Konvensi ini mewajibkan negara-negara penandatangan menjadikan pencucian uang sebagai suatu tindakan kriminal dan tergolong kejahatan berat.

Selanjutnya pada tahun 1998 dibentuk Basle Committee on Banking Regulations dan Supervisory Practices yang terdiri dari perwakilanperwakilan Bank Sentral dan badan-badan pengawas negara-negara industri, dimana bank harus mengambil langkah-langkah yang masuk akal untuk menetapkan identitas nasabahnya yang dikenal dengan Know Your-Customer Rule. Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang telah diubah kedua kali dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003.

Walaupun secara de jure BI telah mengeluarkan peraturan BI No. 3/10/PBI/2001 tanggal 18 Juni 2001 tentang Penerapan Prinsip Pengenalan Nasabah namun peraturan ini sulit diterapkan untuk memberantas transaksi money laundering. Penerapan ini dibatasi oleh UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dimana Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya kecuali untuk kepentingan perpajakan, untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis, atau dalam hal si nasabah meninggal dunia sehingga ahli waris yang sah wajib diberitahukan mengenai simpanan nasabah yang bersangkutan.

Akan tetapi, penerbitan Peraturan Bank Indonesia ini belum dianggap cukup oleh FATF untuk menanggulangi pencucian uang. FATF sendiri sudah mengeluarkan beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan praktek pencucian uang. Rekomendasi tersebut mempunyai tiga ruang lingkup yaitu mengenai peningkatan sistem hukum nasional, peningkatan peranan sistem finansial, dan memperkuat kerjasama internasional. Semua rekomendasi FATF ini menjadi standar internasional untuk mengukur apakah anggota FATF telah mematuhi rekomendasi itu dan memberikan usulan-usulan untuk perbaikan upaya pemberantasan pencucian uang, dan Indonesia dipandang belum mendukung upaya pemberantasan pencucian uang. Indonesia dimasukkan dalam daftar Negara wilayah yang tidak bekerjasama Non Cooperative Countries and Teritories (NCCTs) pada bulan Juni 2001 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dari FATF, dan hal ini berlangsung sampai dengan Februari 2002 mengingat FATF menganggap kurang ada upaya Indonesia dalam memerangi pencucian uang, yang dibuktikan dengan belum adanya program penegakan hukum pencucian yang efektif, belum ada tindakan hukum terhadap para pelaku kejahatan money laundering, belum adanya peningkatan kerja dalam lembaga keuangan untuk memerangi praktek money laundering, belum adanya sistem yang mewajibkan pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan, belum adanya kerja sama dengan Negara-negara lain, institusi-institusi internasional atau belum adanya identifikasi nasabah dan belum ada perangkat hukum untuk mengatasi praktek money laundering yang dibuktikan dengan belum adanya Undang-Undang Anti Pencucian Uang.

Baru pada Februari 2005, Indonesia dikeluarkan dari daftar hitam setelah FTAF mengadakan review langsung ke Indonesia dengan mengadakan wawancara dengan para pemimpin instansi yang menangani money laundering, kemudian Presiden mengutus beberapa Menteri ke Negara Amerika, Inggris, Perancis, Australia, Jepang untuk menjelaskan keseriusan Pemerintah Indonesia menangani kasus money laundering.

Pada tanggal 17 April 2002 telah diundangkan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang melalui Lembaran Negara No. 30. UU ini tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan pencucian uang, hanya dalam penjelasan dinyatakan bahwa upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dikenal sebagai pencucian uang (money laundering). Tindak pidana tersebut adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 Undang-Undang ini yakni harta kekayaan yang berjumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai setara yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan korupsi; penyuapan; penyeludupan barang; penyeludupan tenaga kerja; penyeludupan imigran; perbankan; narkotika; psikotropika; perdagangan budak, wanita, dan anak; perdagangan senjata gelap; penculikan; terorisme; pencurian; penggelapan; penipuan, yang dilakukan baik di wilayah RI atau di luar wilayah RI dan kejahatan tersebut merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

Berbeda dengan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, perubahan UU ini yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan definisi tentang pencucian uang mendefinisikan pencucian uang sebagai perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamar asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah (Pasal 1 angka 1).

Perubahan dalam UU No. 25 Tahun 2003 antara lain meliputi :

a. pengertian Penyedia Jasa Keuangan yang diperluas meliputi jasa lainnya yang terkait dengan keuangan guna mengantisipasi pelaku tindak pidana pencucian uang yang memanfaatkan bentuk penyedia jasa keuangan yang ada di masyarakat namun belum diwajibkan menyampaikan laporan transaksi keuangan dan munculnya bentuk penyedia jasa keuangan baru.

Hal ini tampak dari ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 15 Tahun 2002 : Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, dan perusahaan asuransi, yang kemudian diubah menjadi Pasal 1 angka 5 UU No. 25 Tahun 2003 : Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, custodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos.

b. perluasan definisi Transaksi Keuangan Mencurigakan, yakni :
Pasal 1 angka 6 UU No. 15 Tahun 2002 : Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik serta kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan, termasuk transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini, menjadi

Pasal 1 angka 7 UU No. 25 Tahun 2003 : Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:
a. transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
b. transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; atau
c. transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

c. Pembatasan jumlah hasil tindak pidana yang diperoleh dari tindak pidana dihapus karena penentuan suatu perbuatan dapat dipidana tidak bergantung besar kecilnya hasil tindak pidana yang diperoleh, sebagaimana diatur berdasarkan :
Pasal 2 UU No. 15 Tahun 2002 : Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang berjumlahRp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai yang setara, yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan:
a. korupsi;
b. penyuapan;
c. penyelundupan barang;
d. penyelundupan tenaga kerja;
e. penyeludupan imigran;
f. perbankan;
g. narkotika;
h. psikotropika;
i. perdagangan budak, wanita, dan anak;
j. perdagangan senjata gelap;
k. penculikan;
l. terorisme;
m. pencurian;
n. penggelapan;
o. penipuan;
yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan kejahatan tersebut merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia, menjadi

Pasal 2 UU No. 25 Tahun 2003, yakni :
(1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana :
a. korupsi;
b. penyuapan;
c. penyelundupan barang;
d. penyelundupan tenaga kerja;
e. penyelundupan imigran;
f. di bidang perbankan;
g. di bidang pasar modal;
h. di bidang asuransi;
i. narkotika;
j. psikotropika;
k. perdagangan manusia;
l. perdagangan senjata gelap;
m. penculikan;
n. terorisme;
o. pencurian;
p. penggelapan;
q. penipuan;
r. pemalsuan uang;
s. perjudian;
t. prostitusi;
u. di bidang perpajakan;
v. di bidang kehutanan;
w. di bidang lingkungan hidup;
x. di bidang kelautan; atau
y. tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4(empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
(2) Harta Kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatana terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.

d. Ruang lingkup tindak pidana asal (predicate crime) diperluas untuk mencegah berkembangnya tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan dimana pelaku tindak pidana berupaya menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul hasil tindak pidana namun perbuatan tersebut tidak dipidana. Berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait yang mempidana tindak pidana asal antara lain:
- UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
- UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
- UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
- UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

e. Jangka waktu penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dipersingkat, dengan tujuan agar harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana dan pelaku tindak pidana pencucian uang dapat segera dilacak, sebagaimana diatur berdasarkan :
Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2002 : (2) Penyampaian Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diketahui oleh Penyedia Jasa Keuangan, menjadi:
Pasal 13 UU No. 25 Tahun 2003 : (2) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah Penyedia Jasa Keuangan mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan.

f. Terdapat ketentuan baru yang menjamin adanya kerahasiaan penyusunan dan penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang disampaikan kepada PPATK atau penyidik (anti-tipping off) bahkan dengan disertai sanksi pidana penjara, dengan tujuan untuk mencegah berpindahnya hasil tindak pidana dan lolosnya pelaku tindak pidana pencucian uang, sebagaimana diatur berdasarkan :

Pasal 10A UU No. 25 Tahun 2003 :
(1) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang memperoleh dokumen dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini, wajib merahasiakan dokumen dan/atau keterangan tersebut kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini.
(2) Sumber keterangan dan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan wajib dirahasiakan dalam persidangan pengadilan.
(3) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang karena kelalaiannya melanggar ketentuan pada ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
(4) Jika pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan sengaja, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

g. Penjabaran lebih rinci dan lebih tegas dalam beberapa pasal mengenai ketentuan kerja sama bantuan timbal balik di bidang hukum (mutual legal assistance), merupakan bukti bahwa Pemerintah Indonesia memberikan komitmennya bagi komunitas internasional untuk bersama-sama mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.


3. Unsur-Unsur

Pasal 1 angka 1 UU No. 25 Tahun 2002, mendefinisikan PencucianUang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-seolah menjadi Harta Kekayaan yang sah.
Pendefinisian di atas mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a. Pelaku
b. Transaksi keuangan atau alat keuangan atau finansial untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan
seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah
c. Merupakan hasil tindak pidana

ad. a) Pelaku
Dalam UU No. 15 Tahun 2002 maupun perubahannya dalam UU No. 25 Tahun 2003, digunakan kata “setiap orang”, dimana dalam Pasal 1 angka 2 dinyatakan bahwa Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. Sementara pengertian korporasi terdapat dalam Pasal 1 angka 3 yang menyatakan bahwa Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

ad. b)Transaksi keuangan atau alat keuangan atau finansial untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Istilah transaksi jarang atau hampir tidak dikenal dalam sisi hukum pidana tetapi lebih banyak dikenal pada sisi hukum perdata, sehingga undang-undang tindak pidana pencucian uang mempunyai ciri kekhususan yaitu di dalam isinya mempunyai unsur-unsur yang mengandung sisi hukum pidana maupun perdata. UU No. 25 Tahun 2003 mendefinisikan Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan pentransferan dan/atau pemindahbukuan dana yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan. Transaksi keuangan yang menjadi unsur pencucian uang adalah transaksi keuangan mencurigakan dan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai yang belum dilaporkan dan mendapat persetujuan dari Kepala PPATK.

Definisi Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah (Pasal 1 angka 7 UU No. 25 Tahun 2003) :
a. transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
b. transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; atau
c. transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana, dan definisi Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai diatur dalam Pasal 1 angka 8 UU No. 25 Tahun 2003 adalah transaksi penarikan, penyetoran, atau penitipan yang dilakukan dengan uang tunai atau instrumen pembayaran lain yang dilakukan melalui Penyedia Jasa Keuangan.


ad. c) Merupakan hasil tindak pidana
Penyebutan tindak pidana pencucian uang salah satunya harus memenuhi unsur adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU No. 25 Tahun 2003, dimana perbuatan melawan hukum tersebut terjadi karena pelaku melakukan tindakan pengelolaan atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana. Pengertian hasil tindak pidana dinyatakan pada Pasal 2 UU No. 25 Tahun 2003 yang telah mengubah UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang dalam pembuktian nantinya hasil tindakan pidana akan merupakan unsur-unsur delik yang harus dibuktikan. Pembuktian apakah benar harta kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana adalah dengan membuktikan ada atau terjadi tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan tersebut, pembuktian disini bukan untuk membuktikan apakah benar telah terjadi tindak pidana asal (predicate crime) yang menghasilkan harta kekayaan.

Apabila digambarkan maka unsur-unsur pokok pencucian uang adalah sebagai berikut : “Pelaku; Perbuatan Melawan Hukum; (hasil tindak pidana) menjadi Transaksi Keuangan LEGAL”


4. Dampak Money Laundering

Baik cara perolehan uang yang illegal maupun transaksi keuangan untuk melegalkan uang hasil tindakan illegal menimbulkan dampak ekonomi mikro dan makro.

Dampak ekonomi mikro :
  • cara perolehan uang yang illegal mengganggu jalannya mekanisme pasar. Esensi sistem pasar adalah adanya pengakuan dan perlindungan terhadap pemilikan pribadi atas faktor-faktor produksi maupun atas barang-barang serta jasa-jasa yang digunakan untuk keperluan konsumsi. Namun dengan adanya peluang perolehan uang yang ilegal telah menunjukkan tidak adanya perlindungan dari penguasa atas hak milik, pasar menjadi tidak efisien yang ditunjukkan dengan meningkatnya biaya transaksi pasar, adanya akses yang asimetris pada informasi pasar yang menyebabkan transaksi bersifat zero sum game dalam arti bahwa keuntungan suatu pihak dapat membawa kerugian bagi pihak lain.
  • transaksi keuangan untuk melegalkan hasil perolehan uang yang illegal membawa dampak penurunan produktifitas masyarakat.
Dampak ekonomi makro :
  • tindak pidana pencucian uang menghindarkan kewajiban pembayaran pajak yang berarti mengurangi penerimaan Negara;
  • apabila transaksi keuangan yang dilakukan adalah dengan membawa uang yang ilegal ke luar negeri maka akan menambah defisit neraca pembayaran luar negeri, selain itu juga mengakibatkan berkurangnya dana perbankan yang menyebabkan kesulitan bank melakukan ekspansi kredit;
  • Apabila Negara memperoleh sejumlah uang ilegal dari luar negeri maka akan menambah kegoncangan stabilitas ekonomi makro. Terlebih untuk Negara yang tidak memiliki cukup banyak instrumen moneter sehingga tidak mampu mensterilisasi dampak moneter pemasukan modal. Jika bank sentral membeli devisa yang masuk itu sebagai upaya untuk mempertahankan nilai tukar luar negeri mata uang nasionalnya, jumlah uang beredar akan bertambah dengan cepat dan tambahan jumlah uang beredar itu akan menyulut inflasi sehingga menimbulkan gangguan pada keseimbangan internal perekonomian. Akan tetapi jika bank sentral tidak membeli devisa yang masuk akan menguatkan nilai tukar mata uang nasional yang menyebabkan berkurangnya insentif kegiatan ekspor. Pengurangan ini akan menambah defisit neraca pembayaran luar negeri.
5. Tahapan Pencucian Uang

a. tahap penempatan (placement), merupakan tahap pengumpulan dan penempatan uang hasil kejahatan pada suatu bank atau tempat tertentu yang diperkirakan aman guna mengubah bentuk uang tersebut agar tidak teridentifikasi, biasanya sejumlah uang tunai dalam jumlah besar dibagi dalam jumlah yang lebih kecil dan ditempatkan pada beberapa rekening di beberapa tempat;

b. tahap pelapisan (layering), merupakan upaya untuk mengurangi jejak asal muasal uang tersebut diperoleh atau ciri-ciri asli dari uang hasil kejahatan tersebut atau nama pemilik uang hasil tindak pidana, dengan melibatkan tempat-tempat atau bank di negara-negara dimana kerahasiaan bank akan menyulitkan pelacakan jejak uang. Tindakan ini dapat berupa : mentransfer ke negara lain dalam bentuk mata uang asing, pembelian property, pembelian saham pada bursa efek menggunakan deposit yang ada di Bank A untuk meminjam uang di Bank B dan sebagainya.

c. tahap penggabungan (integration), merupakan tahap mengumpulkan dan menyatukan kembali uang hasil kejahatan yang telah melalui tahap pelapisan dalam suatu proses arus keuangan yang sah. Pada tahap ini uang hasil kejahatan benar-benar telah bersih dan sulit untuk dikenali sebagai hasil tindak pidana, muncul kembali sebagai asset atau investasi yang tampak legal.


6. Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 dimuat dalam :

Pasal 3
(1) Setiap orang yang dengan sengaja:
a. menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;
b. mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
c. membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
d. menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
e. menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
f. membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau
g. menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
(2) Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 6
(1) Setiap orang yang menerima atau menguasai:
a. penempatan;
b. pentransferan;
c. pembayaran;
d. hibah;
e. sumbangan;
f. penitipan; atau
g. penukaran,
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
(2)Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi Penyedia Jasa Keuangan yang melaksanakan kewajiban pelaporan transaksi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.

Pasal 7
Setiap Warga Negara Indonesia dan/atau korporasi Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

Dari pasal-pasal di atas, ditunjukkan adanya pengaturan terhadap jenis-jenis tindak pidana sebagai berikut :
  1. Tindak pidana pencucian uang : yaitu tindakan untuk menempatkan, mentransfer, membayar/membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga lainnya, atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan tersebut.
  2. Tindak pidana percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang.
  3. Tindak pidana menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, atau penukaran atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.
Selain itu juga ditemukan adanya pengaturan yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang :

  • penyedia jasa keuangan yang sengaja tidak menyampaikan laporan yang diwajibkan kepada PPATK atas transaksi keuangan mencurigakan atau transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara, bila dilakukan dalam 1 (satu) kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja;
  • setiap orang yang membawa uang tunai ke dalam atau keluar wilayah Negara Republik Indonesia berupa rupiah sejumlah Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih untuk melapor kepada Dirjen Bea dan Cukai;
  • bagi direksi, pejabat atau pegawai penyedia jasa keuangan yang memberitahukan kepada pengguna jasa keuangan atau orang lain baik secara langsung atau tidak langsung dengan cara apapun mengenai laporan transaksi keuangan mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK;
  • larangan bagi saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan di sidang pengadilan untuk menyebut nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor.

7. Modus-Modus Pencucian Uang

Dalam perbuatan tindak pidana pencucian uang terdapat pengkategorian beberapa modus yang didasarkan pada tipologinya :

a. tipologi dasar :

1). modus orang ketiga, yaitu dengan menggunakan seseorang untuk menjalankan perbuatan tertentu yang diinginkan oleh pelaku pencurian uang, dapat dengan menggunakan atau mengatasnamakan orang ketiga atau orang lain lagi yang berlainan. Ciri-cirinya adalah : orang ketiga hampir selalu nyata dan bukan hanya nama palsu dalam dokumen, orang ketiga biasanya menyadari ia dipergunakan, orang ketiga tersebut merupakan orang kepercayaan yang bisa dikendalikan, dan hubungannya dengan pelaku sangat dekat sehingga dapat berkomunikasi setiap saat.

2). modus topeng usaha sederhana, merupakan kelanjutan modus orang ketiga, dimana orang tersebut akan diperintahkan untuk mendirikan suatu bidang usaha dengan menggunakan kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana.

3). modus perbankan sederhana, dapat merupakan kelanjutan modus pertama dan kedua, namun juga dapat berdiri sendiri. Disini terjadi perpindahan sistem transaksi tunai yang berubah dalam bentuk cek kontan, cek perjalanan, atau bentuk lain dalam deposito, tabungan yang dapat ditransfer dengan cepat dan digunakan lagi dalam pembelian aset-aset. Modus ini banyak meninggalkan jejak melalui dokumen rekening koran, cek, dan data-data lain yang mengarah pada nasabah itu, serta keluar masuknya dari proses transaksi baik yang menuju pada seseorang maupun pada aset-aset, atau pun pada pembayaran-pembayaran lain.

4).modus kombinasi perbankan atau usaha, yang dilakukan oleh orang ketiga yang menguasai suatu usaha dengan memasukkan uang hasil kejahatan ke bank untuk kemudian ditukar dengan cek yang kemudian digunakan untuk pembelian aset atau pendirian usahausaha lain.


b. tipologi ekonomi :

  • model smurfing, yakni pelaku menggunakan rekan-rekannya yang banyak untuk memecah sejumlah besar uang tunai dalam jumlah-jumlah kecil dibawah batas uang tunai sehingga bank tidak mencurigai kegiatan tersebut untuk kemudian uang tunai tersebut ditukarkan di bank dengan cek wisata atau cek kontan. Bentuk lain adalah dengan memasukkan dalam rekening para smurfing di satu tempat pada suatu bank kemudian mengambil pada bank yang sama di kota yang berbeda atau disetorkan pada rekening-rekening pelaku pencucian uang di kota lain sehingga terkumpul dalam beberapa rekening pelaku pencucian uang. Rekening ini tidak langsung atas nama pelaku namun bisa menunjuk pada suatu perusahaan lain atau rekening lain yang disamarkan nama pemiliknya.
  • model perusahaan rangka, disebut demikian karena perusahaan ini sebenarnya tidak menjalankan kegiatan usaha apapun, melainkan dibentuk agar rekening perusahaannya dapat digunakan untuk memindahkan sesuatu atau uang. Perusahaan rangka dapat digunakan untuk penempatan (placement) dana sementara sebelum dipindah atau digunakan lagi. Perusahaan rangka dapat terhubung satu dengan yang lain misal saham PT A dimiliki oleh PT B yang berada di daerah atau Negara lain, sementara saham PT B sebagian dimiliki oleh PT A, PT B, PT C, dan/atau PT D yang berada di daerah atau Negara lain.
  • modus pinjaman kembali, adalah suatu variasi dari kombinasi modus perbankan dan modus usaha. Contohnya : pelaku pencucian uang menyerahkan uang hasil tindak pidana kepada A (orang ketiga), dan A memasukkan sebagian dana tersebut ke bank B dan sebagian dana juga didepositokan ke bank C. Selain itu A meminjam uang ke bank D. Dengan bunga deposito bank C, A kemudian membayar bunga dan pokok pinjamannya dari bank D. Dari segi jumlah memang terdapat kerugian karena harus membayar bunga pinjaman namun uang illegal tersebut telah berubah menjadi uang pinjaman yang bersih dengan dokumen yang lengkap.
  • modus menyerupai MLM.
  • modus under invoicing, yaitu modus untuk memasukkan uang hasil tindak pidana dalam pembelian suatu barang yang nilai jual barang tersebut sebenarnya lebih besar daripada yang dicantumkan dalam faktur.
  • modus over invoicing, merupakan kebalikan dari modus under invoicing.
  • modus over invoicing II, dimana sebenarnya tidak ada barang yang diperjualbelikan, yang ada hanya faktur-faktur yang dijadikan bukti pembelian (penjualan fiktif) sebab penjual dan pembeli sebenarnya adalah pelaku pencucian uang.
  • modus pembelian kembali, dimana pelaku menggunakan dana yang telah dicuci untuk membeli sesuatu yang telah dia miliki.

c. tipologi IT :
  • modus E-Bisnis, hampir sama dengan modus menyerupai MLM, namun menggunakan sarana internet.2). modus scanner merupakan tindak pidana pencucian uang dengan predicate crime berupa penipuan dan pemalsuan atas dokumendokumen transaksi keuangan.
d. tipologi hitek adalah suatu bentuk kejahatan terorganisir secara skema namun orang-orang kunci tidak saling mengenal, nilai uang relatif tidak besar tetapi bila dikumpulkan menimbulkan kerugian yang sangat besar. Dikenal dengan nama modus cleaning dimana kejahatan ini biasanya dilakukan dengan menembus sistem data base suatu bank.

8. Pembuktian Terbalik

UU Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan bahwa Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana (Pasal 35 UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003).

Hal ini merupakan salah satu kekhususan tindak pidana pencucian uang dibandingkan dengan pengaturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dimana terdakwa tidak dibebani kewajiban tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66), namun pembuktian terbalik untuk tindak pidana pencucian uang hanya dapat dilakukan oleh terdakwa pada tingkat pengadilan bukan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

9. Kesulitan Penerapan UU Tindak Pidana Pencucian Uang

  1. Fungsi PPATK hanya bersifat administratif, yaitu untuk mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh PPATK (Pasal 26 huruf a) dan bilamana dari hasil analisis ditemukan transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang maka PPATK baru melaporkan kepada kepolisian dan kejaksaan (Pasal 26 huruf g), atau paling lambat 3(tiga) hari kerja sejak ditemukan adanya petunjuk atas dugaan transaksi keuangan yang mencurigakan, PPATK wajib menyerahkan hasil analisis kepada penyidik untuk ditindaklanjuti (Pasal 31). Selain itu PPATK tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan pemblokiran atas dana yang diduga merupakan hasil tindak pidana.
  2. Pihak kepolisian dan penuntut umum memiliki kesulitan dalam membuktikan terjadinya tindak pidana pencucian uang karena modusnya yang bervariasi dan biasanya tidak ditemukan adanya cukup alat bukti.

Sumber Informasi :
- UU No. 15 Tahun 2002;
- UU No. 25 Tahun 2003;
- Drs. Tb. Imran S. SH., MH. dalam Hukum Pembuktian Pencucian Uang Money Laundering;
- Yenti Garnasih dalam Arti Pencucian Uang di Indonesia dan Kelemahan dalam Implementasinya (Suatu Tinjauan Awal);
- Dr. Bismar Nasution SH.MH dalam Pemahaman UU Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering);
- Prof. Dr. Anwar Nasution dalam Sumber, Proses, Mekanisme dan Dampak Ekonomi “Money Laundering Crime”;
- Erman Radjagukguk, SH., LLM. Ph.D dalam Money Laundering Crime Dalam Hukum Perbankan.

No comments:

Powered By Blogger