Berdasarkan UU no 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pasal 1 ayat 26, “Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima Fasilitas”.
Dalam perjanjian pinjaman, agunan adalah janji peminjam atas suatu properti untuk pemberi pinjaman, untuk menjamin pengembalian pinjaman. Fungsinya sebagai jaminan perlindungan bagi pemberi pinjaman terhadap dana nasabah (DPK) atas risiko kegagalan prestasi (wanprestasi)- yaitu, ketika peminjam gagal membayar pokok dan bunga dibawah ketentuan dari kewajiban pinjaman. Jika peminjam mengalami gagal bayar pada pinjaman (karena bangkrut atau kejadian lain), sehingga peminjam menyerah, maka properti tersebut berguna sebagai jaminan.
Pada banyak negara berkembang, penggunaan agunan merupakan cara utama untuk mengamankan pemberian pinjaman bank. Kemudahan memperoleh pinjaman tergantung pada kemudahan pencairan aset, apakah berupa real estate ataupun lainnya yang dapat dijadikan agunan.
Ketika pembiayaan proyek, pembiayaan berbasiskan islam dapat mempergunakan penjaminan untuk berbagai sekuritas seperti janji, hipotek, bank garansi, jaminan pribadi, jaminan perusahaan, wesel tagih dan penugasan piutang. Nilai total sekuritas untuk setiap proyek akan ditentukan pada kasus per kasus.
Kredit umumnya dibagi dua, yakni dengan agunan dan tanpa agunan. Kredit dengan agunan adalah pinjaman yang diperoleh seseorang dengan menjaminkan sesuatu kepada kreditor. Nilai agunan sama atau lebih besar dari jumlah pinjaman, seperti mobil, rumah, atau deposito tunai. Sementara itu, kredit tanpa agunan adalah pinjaman yang diperoleh seseorang tanpa jaminan apa pun.
Aguna pada Bank syariah
Jaminan pada bank syariah di dasarkan atas prinsip kehati-hatian (prudential), karena dalam hal ini bank merupakan suatu lembaga intermediary, dimana dana yang disalurkan pihak bank bukan hanya semata-mata full 100% dari modal bank, tetapi juga ada dana nasabah lain (kreditur/penabung, deposan) yang kita dikenal sebagai DPK. Nah, DPK inilah yang harus terjaminkan (secured assets) di bank.
Walaupun dalam praktisnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama fikih mengenai boleh tidaknya agunan ini, akan tetapi mayoritas ulama tersebut sepakat membolehkan agunan sepanjang tidak membebani dan menzalimi nasabah. Mungkin di banyak negara maju tidak diperlukan adanya agunan dalam pembiayaan skala kecil dan menengah. Karena masyarakat di sana dianggap telah professional dan memiliki akuntabilitas yang transparan.
Namun, lain halnya jika pada suatu masyarakat terkategorikan kurang terpercaya, belum profesional (dapat dilihat dari track record usahanya), ataupun tidak transparan dalam mengelola bisnisnya, para ulama kontemporer sepakat untuk 'membolehkan adanya suatu jaminan' (bukan diwajibkan, tetapi sebagai pilihan). Metodologi yang digunakan yaitu saad azd dzari'ah, gunanya untuk menutup/mencegah terjadinya suatu resiko (moral hazard) atas ketidakdisiplinan pembayaran oleh nasabah.
Selain itu, pihak bank juga harus lebih selektif lagi dalam memberikan pinjaman kepada nasabahnya, dalam artian pihak bank harus betul-betul mengetahui karakteristik si nasabah sesuai prinsip Know Your Customer (KYC). Sehingga nantinya jika nasabah tersebut telah dianggap amanah, maka tidak diperlukan lagi adanya suatu agunan.
Kedepannya agunan tidak harus berupa materil (real assets), tetapi dapat juga berupa immateril yaitu dapat berupa rekomendasi, ataupun penjaminan dari pihak lain. Dalam kajian fikih jaminan ini kita kenal sebagai kafalah bil maal (jaminan dalam bentuk harta), dan kafalah bin nafs (jaminan dari seseorang).
Dalam perjanjian pinjaman, agunan adalah janji peminjam atas suatu properti untuk pemberi pinjaman, untuk menjamin pengembalian pinjaman. Fungsinya sebagai jaminan perlindungan bagi pemberi pinjaman terhadap dana nasabah (DPK) atas risiko kegagalan prestasi (wanprestasi)- yaitu, ketika peminjam gagal membayar pokok dan bunga dibawah ketentuan dari kewajiban pinjaman. Jika peminjam mengalami gagal bayar pada pinjaman (karena bangkrut atau kejadian lain), sehingga peminjam menyerah, maka properti tersebut berguna sebagai jaminan.
Pada banyak negara berkembang, penggunaan agunan merupakan cara utama untuk mengamankan pemberian pinjaman bank. Kemudahan memperoleh pinjaman tergantung pada kemudahan pencairan aset, apakah berupa real estate ataupun lainnya yang dapat dijadikan agunan.
Ketika pembiayaan proyek, pembiayaan berbasiskan islam dapat mempergunakan penjaminan untuk berbagai sekuritas seperti janji, hipotek, bank garansi, jaminan pribadi, jaminan perusahaan, wesel tagih dan penugasan piutang. Nilai total sekuritas untuk setiap proyek akan ditentukan pada kasus per kasus.
Kredit umumnya dibagi dua, yakni dengan agunan dan tanpa agunan. Kredit dengan agunan adalah pinjaman yang diperoleh seseorang dengan menjaminkan sesuatu kepada kreditor. Nilai agunan sama atau lebih besar dari jumlah pinjaman, seperti mobil, rumah, atau deposito tunai. Sementara itu, kredit tanpa agunan adalah pinjaman yang diperoleh seseorang tanpa jaminan apa pun.
Aguna pada Bank syariah
Jaminan pada bank syariah di dasarkan atas prinsip kehati-hatian (prudential), karena dalam hal ini bank merupakan suatu lembaga intermediary, dimana dana yang disalurkan pihak bank bukan hanya semata-mata full 100% dari modal bank, tetapi juga ada dana nasabah lain (kreditur/penabung, deposan) yang kita dikenal sebagai DPK. Nah, DPK inilah yang harus terjaminkan (secured assets) di bank.
Walaupun dalam praktisnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama fikih mengenai boleh tidaknya agunan ini, akan tetapi mayoritas ulama tersebut sepakat membolehkan agunan sepanjang tidak membebani dan menzalimi nasabah. Mungkin di banyak negara maju tidak diperlukan adanya agunan dalam pembiayaan skala kecil dan menengah. Karena masyarakat di sana dianggap telah professional dan memiliki akuntabilitas yang transparan.
Namun, lain halnya jika pada suatu masyarakat terkategorikan kurang terpercaya, belum profesional (dapat dilihat dari track record usahanya), ataupun tidak transparan dalam mengelola bisnisnya, para ulama kontemporer sepakat untuk 'membolehkan adanya suatu jaminan' (bukan diwajibkan, tetapi sebagai pilihan). Metodologi yang digunakan yaitu saad azd dzari'ah, gunanya untuk menutup/mencegah terjadinya suatu resiko (moral hazard) atas ketidakdisiplinan pembayaran oleh nasabah.
Selain itu, pihak bank juga harus lebih selektif lagi dalam memberikan pinjaman kepada nasabahnya, dalam artian pihak bank harus betul-betul mengetahui karakteristik si nasabah sesuai prinsip Know Your Customer (KYC). Sehingga nantinya jika nasabah tersebut telah dianggap amanah, maka tidak diperlukan lagi adanya suatu agunan.
Kedepannya agunan tidak harus berupa materil (real assets), tetapi dapat juga berupa immateril yaitu dapat berupa rekomendasi, ataupun penjaminan dari pihak lain. Dalam kajian fikih jaminan ini kita kenal sebagai kafalah bil maal (jaminan dalam bentuk harta), dan kafalah bin nafs (jaminan dari seseorang).
1 comment:
Semoga peran bank syariah terus meningkat ya, termasuk dengan penyaluran pembiayaan dari bank syariah untuk usaha kecil dan masyarakat bawah. Apalagi dengan adanya kebijakan spin-off dari USS ke bank syariah. Semoga total aset bank syariah meningkat, tidak hanya kurang dari 5 persen dari aset bank konvensional
Post a Comment