Sesekali jika kita mengamati keadaan di lampu merah jalan raya protokol, cobalah anda perhatikan berapa banyak mobil mewah yang melintas. Barangkali mobil-mobil setaraf BMW, Mercedes Benz S-Class, Toyota Alphard, Vellfire, Audi, dan lain sebagainya, sudah menjadi pemandangan yang umum di jalan. Tapi pusatkan pandangan anda lebih detail lagi, di pinggiran trotoar jalan tersebut para pengamen, pedagang asongan, bahkan ada pula pengemis berdiri lusuh layu dibalik senyum sipu mereka seraya berharap mendapatkan belas kasih dari kendaraan yang melintas.
Ya, inilah salah satu potret kehidupan di sudut Jakarta, Ibukota negara yang selalu didambakan setiap orang. Di satu sisi kita melihat orang dengan mudahnya mengeluarkan 50 hingga 200 ribu rupiah setiap hari untuk membeli bahan bakar kendaraan, disisi lain masih terdapat saudara-saudara kita yang mencari peruntungan di pinggir jalan hanya untuk mengisi perut mereka yang kosong.
Hal yang sama hampir terjadi dari kepemilikian tempat tinggal. Jika kita lihat banyak sekali apartemen maupun perumahan dengan berbagai tipe dan cluster yang harganya mulai dari ratusan hingga miliaran rupiah, namun ada pula saudara kita yang hidup di bantaran sungai, pinggir rel, ataupun di kolong jembatan.
Kontras sekali keadaannya. Banyak orang yang mengatakan ekonomi kita telah membaik, laju pembangunan cukup tinggi, sehingga angka kemiskinan pun telah turun. Tapi apakah yang terjadi sebenarnya? Jika pun itu benar, siapa saja yang telah menikmati kue pembangunan negara ini?
Dari awal corak pembangunan negara ini telah keliru. Dimulai dari sistem ekonomi yang terpusat (Ibukota menjadi super prioritas), ditambah gagalnya penyediaan sistem transportasi massal (Mass Rapid Transit / MRT) yang memadai. Sehingga kemacetan dan kesemerawutan pun tidak dapat dielakkan lagi.
Coba kita bayangkan berapa banyak bahan bakar yang menguap berjam-jam di jalan menunggu kemacetan yang tak kunjung lancar, ditambah waktu luang yang terbuang sia-sia, yang semakin memperkecil aktifitas ekonomi berkualitas.
Rasanya masih tak pantas mengatakan ekonomi kita mapan, jika masih banyak saudara-saudara kita yang masih jauh dari yang dikatakan memiliki penghidupan yang layak. Tanpa harus mempersalahkan siapa, afdhalnya kita mencarikan solusi atas problem kesenjangan tersebut.
Selanjutnya, sejauh apa kesenjangan tersebut dapat diterima?
Kaya ataupun miskin adalah sunnatullah (Az-Zukhruf : 89). Ya, memang benar walaupun pemenuhan kebutuhan pokok sudah teralisasi dengan baik, tetap dapat saja terjadi kesenjangan pendapatan dan kekayaan. Kesenjangan-kesenjangan ini dalam masyarakat muslim diakui selama penyebabnya adalah perbedaan keterampilan, inisiatif, usaha, dan resiko (Al-Mujaadilah : 22).
Hal-hal yang demikian akan terdistribusikan secara normal dalam sebuah masyarakat dimana ajaran-ajaran Islam ditaati secara jujur.
Kesenjangan yang terlalu menceng tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, yang menekankan bahwa sumber-sumber daya bukan saja dikaruniai dari Allah bagi semua manusia (Al-Baqarah : 29) melainkan juga sebagai suatu amanah (Al-Hadid : 7). Karena itu tidak ada alasan mengapa sumber daya tersebut harus terkonsentrasi di tangan segelintir orang.
Kurangnya program efektif untuk mereduksi kesenjangan-kesenjangan akan mengakibatkan penghancuran, dan bukannya penguatan perasaan persaudaraan yang hendak diciptakan oleh Islam. Karena itu, Islam tidak saja menuntut pemenuhan kebutuhan pokok bagi setiap orang, utamanya lewat sumber-sumber penghasilan terhormat, melainkan juga menekankan adanya suatu distribusi kekayaan dan pendapatan yang merata (Al-Hasyr : 17)
Jauh sebelum ini, setidaknya agama Islam telah memberikan solusi agar tidak tercipta kesenjangan yang dalam antara kaya dan miskin. Diantaranya yaitu sistem yang wajib (obligatory system) seperti zakat dan warisan, serta sistem yang bersifat sukarela (voluntary system) seperti infaq, shadaqah, qard, ijarah, hibah, hadiah, dsb.
Menurut Monzer Kahf (1992), zakat yang diterima oleh mustahik (golongan masyarakat penerima zakat) akan meningkatkan konsumsinya yang secara komulatif akan berdampak naiknya agregat permintaan secara makro. Sementara itu pada pihak muzakki (pembayar zakat) zakat ini akan meningkatkan rasio simpanan mereka atas meningkatnya investasi akibat naiknya output karena tingginya tingkat permintaan konsumsi dari mustahik. Sehingga zakat memiliki peran dalam mendorong kinerja ekonomi.
Hal yang senada diungkapkan oleh Ali Sakti (2007), mekanisme zakat memastikan aktifitas ekonomi dapat berjalan pada tingkat minimal yaitu pada tingkat pemenuhan kebutuhan primer, sedangkan infaq-shadaqah dan instrumen sejenis lainnnya mendorong permintaan secara agregat.
Oleh karena itu, pada hakikatnya agama Islam memiliki aturan pedoman hidup yang tidak hanya sebatas cakupan hubungan antara manusia dengan Tuhannya (hablun min Allah), melainkan juga hubungan antara sesama manusia (hablun min an nas).
== Wallahu a’lam bishshawab ==
Ya, inilah salah satu potret kehidupan di sudut Jakarta, Ibukota negara yang selalu didambakan setiap orang. Di satu sisi kita melihat orang dengan mudahnya mengeluarkan 50 hingga 200 ribu rupiah setiap hari untuk membeli bahan bakar kendaraan, disisi lain masih terdapat saudara-saudara kita yang mencari peruntungan di pinggir jalan hanya untuk mengisi perut mereka yang kosong.
Hal yang sama hampir terjadi dari kepemilikian tempat tinggal. Jika kita lihat banyak sekali apartemen maupun perumahan dengan berbagai tipe dan cluster yang harganya mulai dari ratusan hingga miliaran rupiah, namun ada pula saudara kita yang hidup di bantaran sungai, pinggir rel, ataupun di kolong jembatan.
Kontras sekali keadaannya. Banyak orang yang mengatakan ekonomi kita telah membaik, laju pembangunan cukup tinggi, sehingga angka kemiskinan pun telah turun. Tapi apakah yang terjadi sebenarnya? Jika pun itu benar, siapa saja yang telah menikmati kue pembangunan negara ini?
Dari awal corak pembangunan negara ini telah keliru. Dimulai dari sistem ekonomi yang terpusat (Ibukota menjadi super prioritas), ditambah gagalnya penyediaan sistem transportasi massal (Mass Rapid Transit / MRT) yang memadai. Sehingga kemacetan dan kesemerawutan pun tidak dapat dielakkan lagi.
Coba kita bayangkan berapa banyak bahan bakar yang menguap berjam-jam di jalan menunggu kemacetan yang tak kunjung lancar, ditambah waktu luang yang terbuang sia-sia, yang semakin memperkecil aktifitas ekonomi berkualitas.
Rasanya masih tak pantas mengatakan ekonomi kita mapan, jika masih banyak saudara-saudara kita yang masih jauh dari yang dikatakan memiliki penghidupan yang layak. Tanpa harus mempersalahkan siapa, afdhalnya kita mencarikan solusi atas problem kesenjangan tersebut.
Selanjutnya, sejauh apa kesenjangan tersebut dapat diterima?
Kaya ataupun miskin adalah sunnatullah (Az-Zukhruf : 89). Ya, memang benar walaupun pemenuhan kebutuhan pokok sudah teralisasi dengan baik, tetap dapat saja terjadi kesenjangan pendapatan dan kekayaan. Kesenjangan-kesenjangan ini dalam masyarakat muslim diakui selama penyebabnya adalah perbedaan keterampilan, inisiatif, usaha, dan resiko (Al-Mujaadilah : 22).
Hal-hal yang demikian akan terdistribusikan secara normal dalam sebuah masyarakat dimana ajaran-ajaran Islam ditaati secara jujur.
Kesenjangan yang terlalu menceng tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, yang menekankan bahwa sumber-sumber daya bukan saja dikaruniai dari Allah bagi semua manusia (Al-Baqarah : 29) melainkan juga sebagai suatu amanah (Al-Hadid : 7). Karena itu tidak ada alasan mengapa sumber daya tersebut harus terkonsentrasi di tangan segelintir orang.
Kurangnya program efektif untuk mereduksi kesenjangan-kesenjangan akan mengakibatkan penghancuran, dan bukannya penguatan perasaan persaudaraan yang hendak diciptakan oleh Islam. Karena itu, Islam tidak saja menuntut pemenuhan kebutuhan pokok bagi setiap orang, utamanya lewat sumber-sumber penghasilan terhormat, melainkan juga menekankan adanya suatu distribusi kekayaan dan pendapatan yang merata (Al-Hasyr : 17)
Jauh sebelum ini, setidaknya agama Islam telah memberikan solusi agar tidak tercipta kesenjangan yang dalam antara kaya dan miskin. Diantaranya yaitu sistem yang wajib (obligatory system) seperti zakat dan warisan, serta sistem yang bersifat sukarela (voluntary system) seperti infaq, shadaqah, qard, ijarah, hibah, hadiah, dsb.
Menurut Monzer Kahf (1992), zakat yang diterima oleh mustahik (golongan masyarakat penerima zakat) akan meningkatkan konsumsinya yang secara komulatif akan berdampak naiknya agregat permintaan secara makro. Sementara itu pada pihak muzakki (pembayar zakat) zakat ini akan meningkatkan rasio simpanan mereka atas meningkatnya investasi akibat naiknya output karena tingginya tingkat permintaan konsumsi dari mustahik. Sehingga zakat memiliki peran dalam mendorong kinerja ekonomi.
Hal yang senada diungkapkan oleh Ali Sakti (2007), mekanisme zakat memastikan aktifitas ekonomi dapat berjalan pada tingkat minimal yaitu pada tingkat pemenuhan kebutuhan primer, sedangkan infaq-shadaqah dan instrumen sejenis lainnnya mendorong permintaan secara agregat.
Oleh karena itu, pada hakikatnya agama Islam memiliki aturan pedoman hidup yang tidak hanya sebatas cakupan hubungan antara manusia dengan Tuhannya (hablun min Allah), melainkan juga hubungan antara sesama manusia (hablun min an nas).
== Wallahu a’lam bishshawab ==
No comments:
Post a Comment